Ciri Kebijakan Perkotaan yang Ramah PKL

Kota Solo di bawah kepemimpinan Joko Widodo, telah melakukan langkah-langkah kongkrit yang membuat Kota Solo dikenal sebagai kota yang ramah terhadap PKL. Berdasarkan penelitian terakhir yang dilakukan penulis pada bulan Mei-Juni 2008 tercatat bahwa program penataan PKL di Kota Solo berjalan lancar, dan tidak ditemui perlawanan maupun kendala yang berarti. Para PKL yang diwawancarai umumnya menilai positif kebijakan pemerintah kota.

Pasca krisis ekonomi di tahun 2000-an, pertumbuhan tak terkendali para Pedagang Kaki Lima muncul sebagai isu sosial terpenting di kota Solo. Pemerintah daerah saat itu dinilai tidak mampu mengambil langkah-langkah efektif dalam mengatasi masalah ini. Para pemegang kekuasaan di tingkat kota memiliki pandangan berbeda-beda menyangkut cara terbaik dalam memecahkan masalah PKL. Artinya, tidak ada satu kesepahaman dan paket kebijakan tunggal mengenai PKL. Beberapa pihak merasa bahwa ledakan jumlah PKL menodai slogan Kota Berseri (Bersih Sehat dan Indah), sementara yang lain memandang bahwa PKL mempunyai peran penting dalam ekonomi kota sehingga mereka harus dilindungi. Menurut Kantor Tenaga Kerja, dalam dua tahun sesudah krisis ekonomi, sektor PKL mampu mengurangi angkat pengangguran di Kota Solo hingga 30%.

Pengalaman dari Kota Solo juga menunjukkan bahwa perbaikan situasi dan pemenuhan kebutuhan spesifik PKL dalam beberapa tahun belakangan ini menuntut adanya visi dan kebijakan perkotaan yang tidak sekedar reaktif, tetapi yang lebih pro-aktif. Ketika kampanye, (calon) Walikota Solo Joko Widodo memang telah menetapkan pengelolaan PKL sebagai program prioritasnya. Segera setelah terpilih melalui Pilkada langsung, Walikota menyusun suatu konsep yang komprehensif untuk menata PKL dimulai dengan merevitalisasi Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PPKL) sebagai leading agency dalam pelaksanaannya.

Kebijakan utama pengelolaan PKL di Kota Solo meliputi pembinaan, penataan, dan penertiban. Pembinaan mengasumsikan bahwa bisnis dan karakter PKL perlu dibangun dan dikembangkan dengan memberi mereka bimbingan dan penyuluhan, termasuk informasi tentang peraturan dan tanggung jawab PKL dalam memelihara ketertiban di Kota Solo. Istilah penataan berarti mengelola PKL secara fisik agar mereka lebih rapih teratur. Selain itu ada kebijakan penertiban yang dilakukan pemerintah dalam upaya “memaksa” PKL untuk pindah atau atau kadang kala merelokasi mereka ke tempat baru. Kebijakan yang dibuat Kantor PPKL sebagian besar disusun secara persuasif dengan melibatkan kelompok-kelompok PKL sendiri. Sebagai hasilnya, keramahan Kota Solo terhadap PKL bisa ditunjukkan secara fisik (ruang), secara sosial-ekonomi, secara aturan, maupun secara kesempatan.

PKL dan kebijakan tata ruang kota

Pengalaman Kota Solo menunjukkan bahwa kebijakan perkotaan yang ramah PKL harus diawali dengan adanya keberpihakan pada nasib rakyat kecil dan pengakuan bahwa PKL adalah nafas dari kehidupan perkotaan yang tidak bisa dihilangkan. Realitas ini tentunya harus diperhitungkan dalam alokasi ruang. Oleh sebab itu, Kota perlu memiliki visi yang jelas tentang tata ruang seperti apa yang bisa mengakomodir keberadaan PKL. Keberadaan PKL perlu diperhitungkan dalam alokasi ruang perkotaan yang dituangkan dalam Rencana Detil Tata Ruang Kota maupun aturan zonasi yang akan memberikan panduan mana lokasi yang boleh dan tidak boleh dijadikan tempat berjualan. Beberapa daerah bisa dikembangkan menjadi zona-zona atau cluster-cluster PKL dengan jenis dagangan tertentu seperti pusat kuliner, pusat kerajinan, pusat onderdil, dan pusat barang bekas. Keberadaan pusat-pusat kegiatan PKL ini tentunya akan didukung dengan fasilitas publik yang memadai seperti jalur pejalan kaki, tempat parkir, penerangan jalan, air bersih, atau saluran pembuangan (khususnya bagi pusat penjualan makanan). Pengelolaan PKL juga dikaitkan dengan upaya pengembangan pasar tradisional maupun pasar modern.

PKL dan kebijakan sosial

Sangatlah penting untuk menyadari bahwa PKL bukanlah satu entitas yang seragam. Tidak semua PKL menghadapi tingkat kemiskinan, keterbelakangan dan kerentanan yang sama. Ada keberagaman yang harus dikenal dan dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan sosial perkotaan. Kota Solo memiliki data base PKL yang lengkap dan selalu diperbarui secara periodik tidak saja tentang tentang berapa jumlah PKL yang ada di tiap ruas jalan atau jenis barang yang dijual, tetapi juga tentang latar belakang sosial pemiliknya maupun pekerja yang terlibat: baik jenis kelamin dan usia, pendidikan, anggota keluarga yang tergantung pada mereka, dsb. Tanpa data yang jelas tentang latar belakang dan kehidupan para PKL, mustahil pemerintah daerah bisa memahami apa masalah riil yang menjadi persoalan dan bagian mana atau aspek mana dari kehidupan PKL yang bisa diintervensi. Data base yang baik memungkinkan Pemerintah Kota Solo memberikan PKL dan anggota keluarganya yang membutuhkan kesempatan untuk mengakses program pendidikan gratis maupun asuransi kesehatan.

Peraturan Daerah tentang PKL

Kota Solo pernah memiliki Peraturan Daerah Solo No. 8/1995, berjudul “Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima”. Perda ini sudah digunakan sebagai pijakan penerapan regulasi-regulasi seperti surat edaran dan keputusan Walikota. Karena Perda ini disusun sebelum masa reformasi, berbagai komunitas PKL di Kota Solo merasa bahwa aturan ini sudah tidak layak dan tidak mampu lagi menangani secara memadai isu-isu yang terkait dengan PKL. Bagi mereka, karakter Perda 1995 ini sangat merepresentasikan kepentingan eksekutif dan mengesampingkan kepentingan PKL. Komunitas PKL ingin mengubah perda ini sedemikian rupa agar lebih menguntungkan para pedagang kaki lima.

Selama tiga tahun, mulai tahun 2001, sejumlah strategi sudah dijalankan oleh kelompok-kelompok PKL antara lain yang tergabung dalam SOMPIS (Solidaritas Masyarakat Pinggiran Solo). Mereka telah mengorganisasi demonstrasi massa, mendirikan organisasi payung berskala kota untuk para pedagang kaki lima, menggulirkan satu draft peraturan alternatif untuk lembaga legislatif, menggelar dengar pendapat dengan DPRD, dan memanfaatkan media massa. Walaupun pada waktu itu upaya ini tak juga mampu mempengaruhi legislatif dan eksekutif secara langsung, di masa kepemimpinan Joko Widodo, Perda No. 8/1995 ini akhirnya direvisi menjadi Perda No.4 Tahun 2008 tentang Penataan PKL. Sejumlah PKL masih merasa bahwa Perda yang baru ini masih bersifat memberatkan mereka karena adanya ketentuan-ketentuan yang mewajibkan PKL memiliki izin penempatan dan memberikan kewenangan kepada Walikota untuk menetapkan dan mengatur jumlah PKL pada setiap lokasi usaha PKL. Namun sebagian pihak lain merasa aturan ini dianggap cukup adil dalam mengelola berbagai kepentingan yang berbeda terkait dengan pengelolaan PKL di Kota Solo.

PKL dan kesempatan partisipasi

Kesempatan bagi PKL untuk terlibat dalam kebijakan bisa berlangsung jika pimpinan daerah bersifat terbuka dan mau berkomunikasi langsung dengan warganya, jika pemerintah kota memiliki lembaga khusus yang bertanggung jawab mengelola PKL, dan jika PKL sendiri terorganisir dengan baik. Sebaiknya PKL dipandang oleh pemerintah setempat sebagai potensi, bukan masalah karena dengan pandangan yang positif serupa itu, PKL akan lebih mudah diikutsertakan ke dalam program pemberdayaan maupun dalam proses membuat kebijakan.

Di banyak daerah suara PKL akan diperhatikan dan didengar hanya pada event atau momentum khusus saja, misalnya menjelang Pilkada. Di Solo situasinya agak berbeda karena PKL di Kota Solo telah terwadahi dalam berbagai paguyuban yang jumlahnya mencapai hampir 40 organisasi, dan masing-masing paguyuban ini aktif menyuarakan kepentingan PKL. Para PKL di Kota Solo terbukti mudah berhubungan dengan Walikota dan dapat menyampaikan langsung keluhan-keluhan tentang persoalan mereka kepada Walikota.

Pengalaman merelokasi 989 PKL dari Monumen Juang 45 di kawasan Banjarsari barangkali adalah pengalaman paling fenomenal yang menarik untuk dibahas. Bagaimana kisahnya, diulas dalam tulisan yang berjudul Mengelola PKL Banjarsari: Keputusan Berdasar Kesepakatan”. Tulisan tersebut menyimpulkan keputusan inklusif dalam urusan PKL  bisa dihasilkan dari suatu proses pengambilan kebijakan yang dilakukan secara konsultatif.

Hetifah Mendengar

Sampaikan aspirasi Anda

  1. Assalamualaikum Bu. Mohon maaf Bu Izin menyampaikan terkait Honorer yang belum cukup masa kerja 2 tahun belum ada kejelasan kebijakan pemerintah daerah provinsi Kalimantan Timur dan sebahagian Guru Honorer di Kaltim sudah di Rumahkan. Semoga ada solusinya Bu.

  2. Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh,salam sehat selalu untuk ibu hetifah sekeluarga,nama saya Yulianto Bu saya warga kurang mampu yg mempunyai 2anak sekolah dasar Bu kenapa selama ini saya tidak pernah mendapatkan beasiswa untuk anak saya Bu, bagaimana caranya agar anak saya bisa mendapatkan beasiswa bu.mohon bantuan nya agar saya bisa mendaftarkan anak anak saya bu

  3. Assalamualaikum Bu,saya mau bertanya bagaimana caranya kalau saya ingin mengusulkan bantuan untuk anak sekolah,karena saya punya anak sekolah SD dan smp sedangkan yang smp akan lulus tahun ini,dan saya butuh biaya banyak buat dana perpisahan dan uang pendaftaran buat di SMK nanti,mohon di jawab y abu????

Lihat semua aspirasi