Pro-Kontra Babakan Siliwangi

Tulisan ini telah dimuat di surat kabar Pikiran Rakyat, tanggal 22 Oktober 2008, dengan judul "Partisipasi Aktif Publik". Isu Babakan Siliwangi telah menghasilkan pro-kontra publik tentang bagaimanaruang di kawasan tersebut dimanfaatkan dan dikendalikan. Pemerintah daerah perlu menangkap berbagai asumsi dan argumen yang digunakan oleh mereka yang pro maupun yang kontra untuk mengambil keputusan yang tepat tentang nasib Babakan Siliwangi, dan bahkan tentang cara mengimplementasikan keputusan tersebut nantinya. Ada berbagai kelompok masyarakat diluar pihak pengembang swasta seperti para intelektual dan akademisi, mahasiswa, seniman dan budayawan, aktivis, komunitas kreatif, kelompok perempuan, asosiasi profesi, maupun media, yang peduli dengan nasib Babakan Siliwangi, dan masing-masing memiliki sesuatu untuk dikemukakan tentang Babakan Siliwangi. Mendengarkan suara mereka, dan menggunakannya dalam pembuatan kebijakan, merupakan penerapan dari tata pemerintahan daerah yang demokratis, yang sudah menjadi komitmen pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di era reformasi dan desentralisasi. Pihak Pemerintah Kota Bandung, dalam berbagai kesempatan telah mengemukakan alasan-alasan mengapa mereka bersikeras untuk memberikan izin pengelolaan kawasan Babakan Siliwangi kepada pihak swasta. Pertama, karena kawasan ini sudah lama diterlantarkan, dan pemerintah kota ingin agar kawasan hijau ini menjadi lebih terpelihara. Mengakui ketidakmampuannya untuk mengurus ruang terbuka hijau sendiri, membuat Pemerintah Kota memilih untuk menyerahkan tanggung jawab ini kepada pihak pengembang yaitu PT. EGI. Kedua, ada nostalgia yang mendalam tentang keberadaan sebuah rumah makan di era 70-80 an yang menyediakan rupa-rupa makanan khas parahyangan seperti lauk emas dan sayur haseumyang memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan dari luar Kota Bandung. Ketiga adalah karena dari kerjasama ini, Pemerintah Kota akan mendapatkan insentif berupa pemasukan dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Argumen-argumen di atas cukup masuk akal. Keterusterangan Pemerintah Kota mengemukakan keterbatasannya untuk mengelola ruang publik sendiri, tanpa melibatkan pihak ketiga, cukup mengundang simpati. Walaupun demikian, Pemerintah Kota harus pula menerima adanya realitas bahwa cukup banyak (kalau bukan sebagian besar) publik Bandung saat ini ternyata kurang (tidak) setuju dengan pemberian izin eksklusif pengelolaan kawasan Babakan Siliwangi kepada pihak swasta. Kasus Babakan Siliwangi juga dimanfaatkan oleh berbagai kalangan untuk mengemukakan harapan mereka tentang cara Pemerintah Kota mengelola ruang kota ke depan. Ada beberapa situasi yang melatarbelakangi adanya tentangan yang kuat terhadap niat Pemda untuk membangun rumah makan di kawasan Babakan Siliwangi. Salah satu latar belakang yang sangat berpengaruh terhadap sikap publik Bandung yang kritis belakangan ini adalah akibat perilaku Pemerintah Kota di masa lalu, yang dianggap kurang transparan, kurang mau berkomunikasi, dan lebih mau mendengar suara atau kepentingan kelompok interest tertentu (para pemodal) ketimbang masukan akademis dan teknis dari para pakar maupun suara dari komponen masyarakat sipil lainnya. Tidak ada informasi yang jelas kepada publik tentang apa rencana persis yang akan diterapkan di kawasan Babakan Siliwangi. Informasi berubah-ubah dan penuh dengan kesimpangsiuran telah menimbulkan banyak kecurigaan. Apalagi selama ini publik sering merasadikecewakan, dan bahkan merasa dikelabui oleh adanya izin-izin pemanfaatan ruang yang telah menghasilkan pembangunan-pembangunan yang dinilai tidak layak dari pertimbangan lingkungan, tata ruang, maupun keadilan sosial, seperti apa yang telah terjadi di Kawasan Bandung Utara (KBU) dan daerah seputar Dago. Selain itu, banyak komponen akademisi maupun masyarakat sipil di Kota Bandung yang merasa bahwa partisipasi aktif mereka dalam urusan publik di kota ini telah lama terpasung. Padahal gagasan tentang pentingnya partisipasi dalam penataan ruang sudah diadopsi secara tegas dalam berbagai kerangka hukum yang baru, termasuk Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 tahun 2007 khususnya pada pasal 65 (1) yang menyatakan bahwa “penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat”. Peran masyarakat yang dimaksud oleh Undang-undang ini tidak hanya dalam proses pelaksanaan penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian), melainkan juga dalam aspek pengaturan (misalnya pembuatan Perda Tata ruang dan Peraturan Zonasi), pembinaan (sosialisasi dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam isu penataan ruang), bahkan dalam aspek pengawasannya. Jika Pemerintah Kota secara sengaja menutup atau membatasi partisipasi publik dalam proses penataan ruang, sama artinya mereka telah melanggar Undang-undang. Barangkali latar belakang yang paling menarik adalah yang menyangkut track record dari pengembang atau pihak swasta yang dikenal sebagai PT. EGI. Banyak pertanyaan diseputar pemilihan PT.EGI yang telah mendapatkan kepercayaan yang sangat besar dari Pemerintah Kota Bandung untuk melakukan pengelolaan ruang di kawasan-kawasan lain selain Babakan Siliwangi. Publik ingin mengenal PT EGI lebih jauh, dan mendapatkan penjelasan, pertimbangan-pertimbangan apakah gerangan yang telah digunakan oleh Pemerintah Kota ketika memutuskan untuk membuat Perjanjian Kerja Sama dengan PT.EGI. Selama pemerintah tidak bisa secara transparan mengemukakan alasan ini, dan semakin Pemerintah Kota kelihatan sangat membela kepentingan PT.EGI di atas kepentingan publik, semakin besar pula kecurigaan publik bahwa PT.EGI memiliki relasi “istimewa” dengan Pemerintah Kota. Partisipasi yang bermakna dalam penataan ruang Banyak tuduhan ditujukan kepada setiap upaya publik untuk menunjukkan hasratnya berpartisipasi dalam rangka menyelamatkan ruang kota dari keputusan yang salah. Salah satunya terbaca dari artikel yang dituliskan oleh Dadang Bainur, seorang wartawan senior di Pikiran Rakyat 20 Oktober 2008.Ada tiga pendapat yang menunjukkan sinisme penulis terhadap partisipasi publik yang belakangan ini semakin menguat mempertanyakan keputusan Pemerintah Kota tentang Babakan Siliwangi: (a)bahwa mereka yang tidak setuju dan melakukan perlawanan belum tentu mewakili sebagian besar warga Kota Bandung, (b) mereka yang berteriak-teriak tidak setuju revitalisasi tidak siap membangun Babakan Siliwangi dengan biaya mereka sendiri dan dengan konsep yang lebih bagus dibandingkan dengan yang diajukan swasta (PT EGI), dan (c) kelompok penentangBabakan Siliwangi tidak berani menggugat dan berhadapan dengan ITB yang saat ini mengelola Sabuga dan lapangan sepak bola. Pendapat Dadang Bainur tentang keterwakilan dalam partisipasi menunjukkan pandangan konvensional tentang partisipasi publik. Dalam tata pemerintahan yang demokratis dan partisipatif, setiap pengambilan keputusan yang strategis seperti pemanfaatan ruang dan alokasi anggaran, akan mempertimbangkan input publik secara serius dan sungguh-sungguh. Kecenderungan yang diterapkan banyak kota-kota di negara maju saat ini adalah, setiap keputusan publik yang penting tentang pembangunan kota diawali denganproses dialog yang bersifat deliberatifyang melibatkan para perencana, perancang dan arsitek kota, ahli masalah sosial, media, dan komponen publik yang luas. Tidak penting (atau terlalu mahal) untuk membuktikan bahwa suara orang-orang ini haruslah merepresentasikan sebagian besar warga kota. Dalam kasus Babakan Siliwangi sendiri, sesungguhnya tidak sulit untuk menilai bahwa suara yang muncul saat ini datang dari orang-orang yang memiliki kepedulian, kompetensi, dan rasa kepemilikan terhadap kota Bandung. Mereka yang saat ini aktif mempertanyaan keputusan tentang Babakan Siliwangi juga datang dari latar belakang yang bervariasi, dari mulai seniman, mahasiswa, komunitas kreatif, akademisi, hingga ibu-ibu rumah tangga. Kalau selama ini keputusan yang menyangkut isu publik hanya menjadi konsumsi para pejabat di birokrasi dan politisi di DPRD (yang memiliki legitimasi formal untuk mewakili suara warga Kota Bandung), ke depan diharapkan perspektif warga yang aktif dan peduli dari berbagai komponen bisa juga mewarnai keputusan publik yang penting di Kota Bandung. Argumen bahwa mereka yang tidak setuju harus mampu menghasilkan substitusi pemecahan, adalah pendapat yang sering dikemukakan oleh mereka yang resisten dan ingin menghalangi partisipasi. Khusus dalam kasus Babakan Siliwangi, keyakinan Dadang Bainur bahwa niat untuk mengumpulkan dana masyarakat dalam rangka menyelamatkan ruang publik di Babakan Siliwangi mustahil diwujudkan adalah kesimpulan yang sangat gegabah dan jelas-jelas meremehkan kemampuanpartisipasi warga Bandung untuk menggalang kekuatan dan secara aktif membantu Pemerintah Kota untuk bersama-sama menyelamatkan ruang publik yang sudah sangat minim ini. Nilai Pendapatan Asli Daerah sebesar Rp. 50 juta per tahun atau kurang dari Rp. 5 juta per bulan, seperti yang dikemukakan penulis dalam artikelnya, tentu sangat tidak sebanding jika disetarakan dengan kerugian-kerugian publik akibat terbatasinya akses mereka terhadap ruang di kawasan Babakan Siliwangi. Sementara terkait dengan argumen bahwa penentang Babakan Siliwangi hanya berani berhadapan dengan Pemerintah Kota tetapi tidak berani berhadapan dengan ITB juga merupakan upayauntuk mencari pembenaran bahwa kalau orang lain berbuat salah mengapa saya tidak boleh berbuat salah juga?Terlalu dini dan tidak ada bukti apapun untuk menuduh bahwa mereka yang menentang pembangunan Babakan Siliwangi tidak berani berhadapan dengan ITB. Justru kemampuan Pemerintah Kota untuk melakukan proses dialog secara deliberatif dalam kasus Babakan Siliwangi akan menjadi awal yang baik untuk memperluas pembahasan ke tema yang lebih luas seperti kasus Sabuga, kasus pengelolaan lembah Taman Sari, maupun kasus penyelamatan dan perluasan ruang terbuka hijau di Kota Bandung secara lebih umum. Ribuan tanda tangan yang telah terkumpul dalam petisi penolakan, puluhan tulisan di media massa untuk menghimbau dipertahankannya ruang terbuka hijau, penolakan komersialisasi ruang publik melalui demonstrasi, berbagai public events yang menjadi simbol pernyatan sikap yang tegas untuk mempertahankan ruang publik, surat terbuka, diskusi ilmiah, maupun upaya-upaya lain yang telah diinisiasi berbagai kelompok, mencerminkan kepedulian dan kecintaan warga Bandung pada kotanya. Mudahnya menuduh bahwa bahwa berbagai inisiatif publik ini dikendalikan oleh kepentingan politik, mencerminkan adanya mindset lama yang belum berubah tentang partisipasi. Publik Bandung cukup cerdas untuk bisa ditunggangi oleh kepentingan politik yang sempit. Mereka sangat sadarbahwa keputusan yang salah tentang ruang sangatlah mahal harganya, bahkan belum tentu bisa digantikan dengan uang. Berapa besar kerugian akibat merosotnya kepercayaan publik pada Pemerintah Kota maupun DPRD akibat adanya keputusan-keputusan yang serampangan tentang ruang kota? dan berapa kerugian dari hilangnya hasrat publik yang kreatif dan berbakat untuk ikut menyumbangkan pikiran dan tenaganya bagi kemajuan dan perbaikan kota Bandung tercinta ke depan? Tidak ternilai...

Hetifah Mendengar

Sampaikan aspirasi Anda

  1. Bu Hetifah tolong bantu sekolahkan 8 anak saya. Saya orang susah. Mau makan aja sulit. Suami saya kerja serabutan.

  2. Gimana cara mendaftar beasiswa untuk anak saya masih kelas 1 sd bersekolab di sd. 002 sambutan samarinda ilir kel. Sungai kapih

Lihat semua aspirasi