Kualitas rektor asing yang mumpuni tak akan cukup untuk menunjang perbaikan pendidikan tinggi di Tanah Air.
Jakarta,– Di penghujung periode Kabinet Kerja, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir memicu kontroversi dengan rencana mendatangkan rektor asing. Perekrutan rektor ini ditujukan untuk memimpin perguruan tinggi di Tanah Air ini guna mendongkrak peringkat kampus dalam negeri di level internasional.
“Kita nanti tantang calon rektor luar negerinya, bisa tidak perguruan tinggi ini menjadi 200 besar dunia. Setelah itu tercapai, berikutnya 150 besar dunia. Setelah ini 100 besar dunia,” begitu kata Nasir, beberapa waktu lalu.
Nasir ada benarnya. Merujuk QS World University Rankings 2019, prestasi tertinggi kampus Tanah Air memang baru menyentuh pada peringkat 500 besar dunia. Itu pun hanya diisi oleh tiga kampus negeri. Universitas Indonesia (UI) menduduki peringkat 292, Institut Teknologi Bandung (ITB) di peringkat 359, dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di peringkat 391.
Capaian ini jauh tertinggal dari catatan peringkat kampus negeri tetangga seperti University Malaya (UM), Malaysia, yang mampu bertengger di peringkat 87. Dengan kampus-kampus di Singapura, kampus Indonesia bahkan lebih jauh tertinggal. National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU) menduduki peringkat 11 dan 12 dunia.
Wacana ini sebenarnya sudah pernah didengungkan Menteri Nasir pada tahun 2016 lalu, namun tidak berlanjut karena reaksi keras dari publik.
Kali ini berbeda, Menteri Nasir mengaku telah memperoleh restu dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jadi, Natsir percaya diri untuk menargetkan rektor asing akan mulai beroperasi pada 2020. Perguruan tinggi swasta (PTS) menjadi awal uji coba. Adapun sampai 2024, pihaknya menargetkan rektor asing telah memimpin sedikitnya di lima perguruan tinggi.
Opsi perekrutan rektor asing ini bukan tanpa alasan bisa muncul. Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Kemenristekdikti, Ali Ghufron Mukti menjelaskan bahwa pihaknya mendapati beberapa kekurangan dari rektor dalam negeri. Kekurangan itu tercermin dari hasil penuturan para rektor terkait capaian, perubahan, dan visi ke depan yang ditulis dalam rangka kegiatan apresiasi dosen dan rektor bertajuk Academic Leader Award.
Rektor dalam negeri kata dia juga masih mendapat masalah dalam hal membentuk iklim akademik di Indonesia. “Kekurangan ada di banyak hal. Terutama pada tata kelola terkait otonomi pengelolaan perguruan tinggi. Pengelolaan keuangan sangat kurang fleksibel,” tutur Ali kepada Validnews, Jumat (16/8).
Oleh sebab itu, kehadiran rektor asing menjadi salah satu opsi agar bisa mendorong pembentukan iklim akademis mengingat mereka sudah lebih matang. Mereka diharapkan bisa menerapkan iklim akademik yang baik di kampus-kampus Tanah Air.
Kultur Akademik
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria memandang senada. Kultur akademik dan kultur organisasi dari dosen maupun rektor di Tanah Air masih butuh penyempurnaan. Di sisi lain, dosen asing memiliki jejaring luas untuk membentuk iklim akademik yang mumpuni.
Meski begitu, dia yakin opsi perekrutan rektor asing tak menjadi satu-satunya solusi untuk menjawab persoalan peringkat. Ia menilai akan lebih realistis bila pemerintah mau fokus pada perbaikan sumber daya manusia (SDM) yang ada, seperti direktur hubungan internasional ataupun dekan.
Apalagi pada kenyataannya, ekosistem pendidikan tinggi di Indonesia sangat berbeda dengan kebanyakan negara maju. Aspek pendanaan untuk fasilitas dan riset, regulasi serta tingkat otonomi perguruan tinggi di negara maju sudah mapan, sedangkan di Indonesia masih butuh penyempurnaan.
“Terlebih, peringkat itu soal pilihan untuk merujuk lembaga ranking yang mana. Jadi sebenarnya, rektor asing tidak urgen,” ungkap Arif kepada Validnews, Jumat (16/8).
Arif pun memandang, realisasi rencana rektor asing pun sebetulnya tak bisa dipaksakan dari atas (top-down)oleh pemerintah. Pada praktiknya, wacana ini sangat bergantung pada kesiapan dan kemauan dari masing-masing perguruan tinggi. Sebab, keberadaan rektor sangat berkaitan erat dengan ekosistem internal kampus yang kompleks.
Rektor Universitas Telkom, Adiwijaya punya pandangan berbeda. Ia justru melihat kehadiran rektor asing akan memacu daya saing rektor dalam negeri yang saat ini bertugas.
Kebijakan ini kata dia bisa menjadi momentum untuk mendorong rektor-rektor dalam negeri lekas menyelesaikan masalah yang ada di dalam kampusnya. Dalam hal ini, poin penting dari pemerintah memosisikan rektor asing sebagai bahan bakar guna memacu prestasi kampus dalam negeri.
“Kita lebih tahu masalah-masalah di dalam kampus untuk mendorong dosen-dosen supaya menjadi lebih baik lagi,” katanya kepada Validnews, Jumat (16/8).
Kendati demikian, menurutnya, permasalahan mendesak dalam tataran pendidikan tinggi di Indonesia bukan terletak pada posisi peringkat internasional. Parameter peringkat internasional itu memang tak menjadi perhatian utama.
Adiwijaya menyebut, ada opsi lain untuk mengejar ketertinggalan itu. Semisal terkait dengan publikasi karya ilmiah yang seharusnya dapat dikembangkan menjadi inovasi riil yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Penyelesaian masalah pendidikan tinggi juga butuh sinergi dari seluruh civitas academica termasuk dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Jadi, bukan hanya menjadi tugas rektor.
Seluruh unsur perguruan tinggi kata dia perlu membangun tim yang kuat untuk mencapai tujuan sesuai dengan perannya masing-masing.

Tabrak Aturan
Ada kendala lain diungkap legislator. Wakil Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian mengatakan, wacana mendatangkan rektor asing bagi PTN sendiri menabrak peraturan yang ada. Rencana itu bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
“Tidak ada satupun aturan yang menyebut perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta memperbolehkan orang asing jadi pimpinan kampus,” ucap Hetifah kepada Validnews, Senin (19/8).
Selain itu, menurut dia, pemerintah perlu menyadari bahwa keberadaan rektor asing di kampus negeri dan swasta berpeluang besar menghadirkan kecemburuan sosial. Semisal dari sisi penghasilan. Rektor asing sudah pasti mendapatkan penghasilan jauh lebih tinggi dari pada rektor dalam negeri.
Belum lagi masalah adaptasi lingkungan. Para rektor asing nantinya harus menghadapi situasi dan kondisi yang berbeda dari negara sebelumnya. Ini mencakup kendala bahasa, budaya dan adat istiadat.
DPR lebih setuju apabila pemerintah memulangkan warga negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri (diaspora) untuk membantu membenahi kualitas pendidikan tinggi di Tanah Air. Dengan pengalaman dan jaringan yang sudah dimiliki, para diaspora bisa diberikan kepercayaan untuk memimpin sebuah kampus.
Hetifah menilai masalah kualifikasi dosen dan rektor di Indonesia sendiri dapat diantisipasi oleh Kemenristekdikti dengan giat menyekolahkan dosen lokal ke luar negeri sedari dini, baik melalui program LPDP atau program pendidikan lainnya. Persoalannya, saat ini peserta LPDP cenderung enggan mencurahkan tenaganya untuk mengajar bagi perguruan tinggi di Indonesia.
“Hal itu bisa diatasi dengan penandatanganan pakta integritas antara peserta LPDP dan negara secara tegas,” imbuh dia.
Alih-alih secara gegabah mengimpor rektor asing, Hetifah justru memandang pemerintah perlu menelusuri terlebih dahulu akar masalah yang membuat daya saing kampus dalam negeri rendah. Ia sendiri mengindikasikan masalah ini berasal dari manajemen pengelolaan yang tak mendukung pengembangan perguruan tinggi.
“Kalau Kemenristekdikti memperbaiki sistem perekrutan rektor maka peningkatan kualitas kampus akan turut serta mengikuti,” katanya.
Selama ini, sambung dia, calon rektor dalam negeri masih dibayangi proses seleksi yang lama dan tidak mudah. Salah satunya berkaitan dengan persyaratan administrasi untuk menjadi rektor di PTN. Calon rektor harus memiliki ijazah luar negeri, itu pun harus mendapatkan kesetaraan dari Kemenristekdikti.
Di sisi lain, otoritas untuk mengangkat rektor di kampus swasta juga dikuasai penuh oleh yayasan. Dengan demikian, bukan perkara mudah untuk memasukkan rektor asing ke dalam kampus swasta.
Apabila pemerintah memaksa untuk menghadirkan rektor asing ke dalam kampus swasta, uji coba sebaiknya dilakukan pada entitas kampus baru. Seperti pada beberapa kampus yang ditutup dan direncanakan akan dilebur menjadi satu.
Rektor asing, tuturnya, bisa ditempatkan di kampus baru tersebut untuk mengetahui kualitas dan kemampuannya dalam mengelola kampus. Apabila rektor asing tersebut berhasil mengangkat nama kampus swasta itu, maka pemerintah dapat mempertimbangkan keberadaan rektor asing di kampus yang sudah lama berdiri.
Ia menganggap tidak adil, apabila rektor asing tiba-tiba mengisi pos rektor pada kampus swasta yang sudah lama berdiri. “Kampus swasta juga tidak mau ambil risiko main ambil rektor asing, karena bisa berpengaruh terhadap kredibilitas kampus,” tambahnya.
Rekrutmen Rektor
Pengamat Pendidikan Doni Koesoema turut menyoroti masalah sistem rekrutmen rektor di Tanah Air. Ia mengkritisi, sistem diterapkan selama ini memungkinkan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pada praktiknya, Menristekdikti menjadi pihak yang paling menentukan keterpilihan seorang rektor karena porsi suaranya dalam voting mencapai 35%.
Sementara itu, porsi suara senat yang mencapai 65% justru sulit menentukan rektor terpilih karena kecenderungan suara yang terpecah-pecah. Doni mengatakan, hampir tidak mungkin dalam senat memilih salah seorang kandidat 100%, bahkan untuk mencapai kuorum pun seringkali sulit.
“Di sisi lain, menteri punya porsi 35%. Dia tinggal pakai porsinya itu sudah jadi suara signifikan untuk satu kandidat tertentu bisa sampai 75% sendiri,” jelas Doni kepada Validnews, Jumat (16/8).
Terlebih, pada praktiknya tim dari Kemenristekdikti juga tak menunjukkan mekanisme yang jelas ketika memilih seorang kandidat. Semisal ada tiga nama yang diajukan, tim tersebut bisa menghilangkan dua nama di antaranya tanpa menyampaikan alasan dan prosesnya. Proses seleksi yang tak transparan itu seringkali menyingkirkan potensi SDM unggul untuk menjadi rektor.
Dengan sistem rekrutmen tersebut, posisi rektor setelah menjabat juga kerap dipolitisasi sehingga tidak bisa bekerja secara maksimal. Masalah sistem rekrutmen seperti inilah yang perlu diperbaiki. Salah satunya, dengan membuka proses dan kriteria seleksi rektor kepada masyarakat sampai dengan nama terpilih keluar.
Doni malah menilai, logika Menteri Nasir merekrut rektor asing untuk meningkatkan peringkat kampus Indonesia itu menyesatkan. Pasalnya, peringkat kampus dunia itu bukan hanya sekadar masalah kepemimpinan, melainkan banyak prasyarat yang harus dipenuhi.
“Ada banyak web matrik yang harus diikuti seperti penerimaan mahasiswa, kualitas dosen pemberian gelar, budaya akademik, penelitian, sampai jumlah mahasiswa internasional yang ada. Kalau menganggap masalah pemeringkatan itu karena rektornya itu tidak tepat,” paparnya.
Sampai saat ini, kata dia, kampus-kampus di Indonesia masih harus memperjuangkan kebebasan akademik yang dikekang. Semisal kebebasan untuk mendiskusikan berbagai macam isu global dari perspektif akademis malah dibatasi, seperti halnya isu marxisme. Pembatasan ini menunjukkan kampus sebagai institusi akademik tidak independen. Hal ini berakibat pada minimnya minat belajar mahasiswa asing di kampus dalam negeri.
Selain itu, sebagian besar kampus di Indonesia juga belum banyak yang membuka kelas dengan pengantar Bahasa Inggris. Hal ini menjadi hambatan tersendiri bagi mahasiswa internasional yang ingin berkuliah di Indonesia. Akibatnya, kampus-kampus Tanah Air relatif kekurangan mahasiswa asing.
“Kebijakan Menristekdikti selama ini tak bisa membedakan mana standar internasional yang harus diikuti mana yang tidak,” ujar Doni.
Sekalipun ada kampus dengan jumlah mahasiswa asing cukup signifikan, Doni melihat masih minim pengaruhnya secara langsung kepada peringkat internasional. Sebab, sebagian besar mereka hanya mengikuti program kursus untuk bahasa dan sastra, serta penelitian tanpa diberi gelar. Padahal, pemberian gelar ini menjadi salah satu indikator penentu untuk meningkatkan peringkat.
Berkaca dari kondisi tersebut, rektor asing diyakini tak akan bisa bekerja banyak. Kualitas pribadi yang mumpuni tak akan cukup mampu menunjang perbaikan pendidikan tinggi di tengah masalah rekrutmen serta keterbatasan fasilitas dan budaya akademik di Tanah Air.
Apalagi, rektor di Indonesia dengan kebanyakan rektor di negara maju selama ini punya tugas yang relatif berbeda. Di luar negeri, rektor yang umum dikenal dengan nama Presiden Universitas lebih fokus pada tugas eksternal untuk berhubungan dengan pihak di luar kampus. Ia proaktif melakukan lobi, khususnya terkait pendanaan, untuk menunjang pengembangan kampus.
Sementara itu, tugas untuk mengembangkan program pendidikan tak dipegang oleh rektor melainkan oleh posisi serupa kepala program studi (kaprodi). Posisi ini punya otoritas penuh untuk mengembangkan riset, mata kuliah, termasuk pula seleksi dosen tanpa dipusingkan soal pendanaan.
“Kalau di Indonesia, rektor mengerjakan semuanya mulai dari cari dana, program studi, kurikulum sampai ke administrasi. Kalau sistemnya masih seperti ini, rektor asing pun mati kutu,” tutur dia.
Ia tak menampik bahwa dalam peta permasalahan ini, rektor asing memang bisa menjadi salah satu opsi. Akan tetapi, kedatangan rektor asing pun perlu dibarengi dengan pembenahan sistem pendidikan tinggi secara menyeluruh.
“Terpenting, buat jabatan rektor itu strategis. Struktur prodi juga perlu dikembangkan oleh orang kompeten dengan otonomi penuh. Baru kemudian sesuaikan dengan kriteria kampus internasional,” katanya.
Tujuan untuk mendongkrak daya saing kampus dalam negeri mustahil terjadi jika tak ada perubahan struktur dan sistem terkait kewenangan rektor itu sendiri.
*) sumber : validnews.id
Assalamualaikum Bu. Mohon maaf Bu Izin menyampaikan terkait Honorer yang belum cukup masa kerja 2 tahun belum ada kejelasan kebijakan pemerintah daerah provinsi Kalimantan Timur dan sebahagian Guru Honorer di Kaltim sudah di Rumahkan. Semoga ada solusinya Bu.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh,salam sehat selalu untuk ibu hetifah sekeluarga,nama saya Yulianto Bu saya warga kurang mampu yg mempunyai 2anak sekolah dasar Bu kenapa selama ini saya tidak pernah mendapatkan beasiswa untuk anak saya Bu, bagaimana caranya agar anak saya bisa mendapatkan beasiswa bu.mohon bantuan nya agar saya bisa mendaftarkan anak anak saya bu
Assalamualaikum Bu,saya mau bertanya bagaimana caranya kalau saya ingin mengusulkan bantuan untuk anak sekolah,karena saya punya anak sekolah SD dan smp sedangkan yang smp akan lulus tahun ini,dan saya butuh biaya banyak buat dana perpisahan dan uang pendaftaran buat di SMK nanti,mohon di jawab y abu????