Pembangunan: Meningkatkan Kesejahteraan atau Memperdalam Kesenjangan

Hetifah Sjaifudian (Anggota DPR RI Komisi X Dapil Kalimantan Timur) Disampaikan pada Seminar "Pembangunan Minus Kesejahteraan" yang diselenggarakan oleh Sabang-Merauke Circlce, 31 Januari 2011 di le Meridien Hotel Jakarta Pembangunan adalah upaya yang terencana untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang dimanisfestasikan melalui seperangkat kebijakan publik, termasuk kebijakan anggaran. Setiap negara akan memilih dan menerapkan strategi pembangunan tertentu yang dianggap tepat untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan rakyatnya. Yang dimaksud dengan sejahtera adalah situasi manakala kebutuhan dan hak dasar rakyat  telah terpenuhi. Hak dasar ini tidak semata terkait dengan tingkat konsumsi dan akses  kepada layanan publik, tetapi juga pada kesempatan untuk berpartisipasi dan menyampaikan aspirasi. Bagaimanakah kita menilai hasil pembangunan yang berlangsung di Indonesia saat ini?  Kita kerap mendengar penjelasan bahwa kebijakan negara telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan tentunya ada banyak data-data statistik yang dikemukakan pemerintah sebagai pendukung pernyataan tersebut. Presentasi Kementrian Keuangan RI di DPR RI tentang Pencapaian Kinerja Ekonomi 2010, misalnya, menyatakan: "Pencapaian ekonomi makro dan stabilitas keuangan sepanjang tahun 2010 sesuai dengan harapan dan ada perbaikan kinerja dibanding tahun sebelumnya. Pencapaian tersebut berhasil menurunkan jumlah kemiskinan dan pengangguran. [1]" Dengan bangga dikemukakan bahwa tingkat kemiskinan menurun dari  14,2 % di tahun 2009 menjadi 13,33 % di tahun 2010, sementara tingkat pengangguran menurun dari 7,9 % di tahun 2009 menjadi  7,1 % di tahun 2010. Di saat lain, kita pun kerap mendengar  keluhan  seolah  pembangunan yang terjadi itu hanya memberikan kemakmuran dan kenikmatan kepada segelintir orang saja. Sementara sebagian besar warga negara tetap merasa tidak terlindungi dan belum mendapatkan jaminan  untuk bisa hidup layak dan memperoleh pelayanan sosial dasar seperti pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, papan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti kebutuhan untuk bisa bepergian dengan aman dan nyaman. Masih segar ingatan kita bagaimana masyarakat miskin menjerit akibat kenaikan harga pangan terutama beras dan cabai yang mencapai 15,64% di tahun 2010. Data Susenas menunjukkan lebih dari 60% biaya hidup rumah tangga miskin digunakan untuk bahan makanan. Beras, utamanya,  adalah komoditi yang sangat penting untuk rumah tangga miskin karena sekitar separuh  dari total konsumsi rumah tangga miskin untuk bahan makanan digunakan untuk membeli beras.  Oleh sebab itu, ketidakmampuan negara untuk menekan kenaikan harga-harga barang yang penting untuk keluarga miskin pasti akan berdampak terhadap  kesejahteraan penduduk miskin. Walaupun Komisi XI DPR RI yang mengurus masalah keuangan mengaku pemerintah sudah mengalokasikan dana 80 trilyun rupiah untuk mengatasi  masalah inflasi ini, namun mereka tetap menilai pemerintah telah gagal mengendalikan inflasi karena inflasi umum di Indonesia pada tahun 2010 yang mencapai 6,96% lebih buruk dari target inflasi 5,3% seperti perintah UU APBNP 2010. [2] Dapat disimpulkan bahwa pembangunan yang membawa berbagai perubahan sudah terjadi, namun tidak salah pula bahwa di tengah perubahan itu banyak rakyat Indonesia justru mengalami degradasi dalam kesejahteraannya.  Kita pun makin menyadari bagaimana dan oleh siapa parameter keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan ditentukan, sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat politis dan bersifat arbitrary. Pemerintah bisa saja mengatakan bahwa angka kemiskinan menurun, dan kesejahteraan rakyat telah meningkat.   Namun apa yang dikemukakan pemerintah belum tentu merefleksikan persepsi masyarakat luas, khususnya mereka yang miskin atau merasa dirinya miskin. Mengukur Keberhasilan Pembangunan Selain pertumbuhan ekonomi,  parameter yang paling sering digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan adalah  penurunan angka kemiskinan. Secara konvensional  biasanya kita membedakan angka kemiskinan absolut dan  kemiskinan relatif. Yang pertama terkait dengan penggunaan standar atau garis kemiskinan tertentu, barang siapa memiliki pendapatan di bawah itu masuk dalam kategori miskin.[3] Yang kedua mengukur posisi orang miskin dibandingkan dengan kelompok  lainnya di masyarakat, sehingga menjadi indikator untuk mengukur kesenjangan. Mengungkapkan data-data statistik dengan ukuran moneter seperti berapa prosentase orang miskin di Indonesia dan  Gini Rasio untuk distribusi pendapatan sebetulnya masih jauh dari memadai untuk mendeskripsikan fenomena pembangunan dan kemiskinan di Indonesia. Data yang diungkapkan di atas menunjukkan betapa rentannya masyarakat kita menghadapi guncangan seperti perubahan iklim, inflasi, atau bencana. Bukti-bukti  kualitatif sebetulnya lebih bisa menunjukkan bahwa posisi  mereka yang miskin di Indonesia menjadi semakin buruk, bukan membaik.  Dan pertumbuhan ekonomi yang diklaim sebagai kesuksesan pembangunan bisa jadi justru  memperlebar kesenjangan antara mereka yang kaya dengan mereka yang miskin. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat bukan sekedar membutuhkan resep ekonomi, tetapi membutuhkan reorientasi kebijakan secara menyeluruh dengan memperhatikan konteks daerah. Keluasan wilayah, dan heterogennya masyarakat membutuhkan   penelusuran  yang khas  sehingga tiap daerah memiliki konsepsi, penggolongan, pengukuran dan strategi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang lebih komprehensif  dan  tepat sasaran. Pengukuran kuantitatif tidak cukup untuk melacak sebab-sebab yang membuat kelompok miskin jatuh pada kondisi kehidupan yang tidak layak. Selain itu, memahami masalah kemiskinan hendaknya tidak dilepaskan dari aspek gender, karena laki-laki dan perempuan memiliki ukuran kesejahteraan yang berbeda, serta memiliki pengalaman dan  kemampuan yang berbeda pula untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Pembangunan Pendidikan dan Kesejahteraan Tujuan terbentuknya negara Indonesia seperti dituangkan dalam pembukaan  UUD 1945 adalah untuk mencedaskan kehidupan bangsa. Tujuan ini hanya dapat dicapai melalui penyelenggaraan pendidikan. Maka tidak ada seorang pun yang bisa membantah bahwa  meningkatkan akses dan kualitas pendidikan harus menjadi prioritas pembangunan. Pemerintah dituntut untuk dapat memberikan kesempatan yang seluasnya-luasnya bagi semua warga negara untuk  memperoleh pendidikan tanpa terkecuali. Tidak ada alasan bagi setiap individu warga negara untuk tidak dapat memperoleh pendidikan yang bermutu, dan hal ini harus benar-benar dijamin oleh Pemerintah. Rendahnya akses kepada pendidikan yang bermutu merupakan salah satu penyebab mengapa kemiskinan sulit ditanggulangi.  Saat ini 81 % penduduk miskin di Indonesia berpendidikan SD ke bawah. Dengan kata lain,  pendidikan belum bisa menjadi jawaban atas persoalan kemiskinan di Indonesia. Melalui ilustrasi pembangunan di bidang pendidikan, tulisan ini mencoba untuk menguraikan realitas bahwa strategi pembangunan dan penambahan anggaran negara bagi fungsi pendidikan  justru bertendensi memperdalam kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tulisan ini juga mencoba mengemukakan mengapa hal itu terjadi dan apa perbaikan yang bisa dilakukan khususnya oleh lembaga legislatif. Pasal 31 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam penggunakan anggaran tersebut, Pemerintah telah merumuskan sejumlah strategi pembangunan pendidikan dan juga menggaungkan kebijakan pendidikan gratis. Namun berbagai kajian  menyimpulkan bahwa kinerja pendidikan dalam bidang pemerataan dan perluasan akses pendidikan belum menunjukkan hasil yang optimal.[4] Sementara pendidikan gratis lebih merupakan jargon politis yang praktiknya sulit diaplikasikan di lapangan. Kebijakan desentralisasi juga ternyata belum mampu membuka peluang perbaikan kualitas pendidikan. Kembali terlihat adanya paradoks, anggaran pendidikan terus meningkat, tetapi masyarakat merasa tetap harus mengeluarkan lebih banyak dana untuk membayar pungutan dan biaya lain dalam upaya memperoleh pendidikan yang berkualitas. Kesenjangan akses dan pelayanan pendidikan masih sangat terasa, baik kesenjangan antar daerah maupun antar kelompok sosial masyarakat. Mereka yang tinggal di kota dan mereka yang kaya bisa mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan yang sangat baik yang mendapatkan banyak subsidi pemerintah. Sebaliknya mereka yang miskin dan ada di daerah pedalaman, terpencil dan perbatasan hanya bermimpi mendapat pendidikan bermutu. Sebagai ilustrasi, dengar pendapat Komisi X dengan Ikatan Dokter Indonesia dan pakar pendidikan kedokteran mengungkapkan bahwa untuk bisa masuk jurusan kedokteran di berbagai universitas negeri maupun swasta  siswa harus mengeluarkan biaya masuk hingga 300-400 juta rupiah dan biaya studi rata-rata mencapai  20 juta rupiah per semester. Dengan kondisi seperti ini tentunya, sulit bagi anak keluarga miskin bisa menjadi dokter. Sementara, walaupun mahal, mutu pendidikan kedokteran di Indonesia dianggap belum bisa mencapai standar global, akibatnya para lulusan pendidikan kedokteran  di Indonesia  tidak diakui di dunia internasional. Situasi yang dihadapi pendidikan kedokteran di atas merupakan tantangan nyata bagi pembangunan dunia pendidikan di Indonesia. Situasi serupa dihadapi calon mahasiswa di jurusan-jurusan lain. Perguruan tinggi berlomba menerapkan jalur mandiri yang terbukti meningkatkan diskriminasi dalam pendidikan. Demikian pula di level pendidikan dasar dan menengah.  Sekolah Berstandar Internasional dan sekolah favorit telah menciptakan kelas-kelas sosial yang akan meningkatkan kesenjangan. Tak dapat dihindari, sistem pembiayaan pendidikan yang ada saat ini telah melestarikan bahkan mempertajam strata sosial di dalam masyarakat. Mampukah ke depan negara membangun mekanisme pemerataan yang bisa memperkecil kesenjangan di bidang pendidikan?  Bisakah alokasi 20 persen APBN untuk fungsi pendidikan  menjadi alat pemerataan dan keadilan sosial? Politik dan Mekanisme Pengelolaan Anggaran Pendidikan Terkait dengan anggaran fungsi pendidikan yang mencapai 20 persen dari APBN, terdapat situasi sebagai berikut: memang pagu APBN yang terus meningkat otomatis meningkatkan anggaran fungsi pendidikan, namun Kemendiknas selaku penanggungjawab kinerja pendidikan nasional hanya mengelola rata-rata 30 % per tahun dari total 20 % anggaran fungsi pendidikan tersebut, atau hanya lebih kurang 6 % dari total APBN,  sisanya tersebar di 15 Kementrian dan Lembaga Negara lain. Sampai tahun 2010 lalu, belum ada Renstra Pendidikan Nasional yang komprehensif sebagai acuan untuk mencapai RPJP maupun RPJM di bidang pendidikan, yang ada hanya Renstra Kemendiknas untuk pelaksanaan program tahunannya. Mengingat belum ada aturan yang menetapkan siapa leading sector anggaran fungsi pendidikan yang di tahun 2010 besarnya mencapai 243 trilyun ini, padahal penggunaannya multi sektor, maka ada kecenderungan pengawasan oleh DPR  menjadi kurang efektif  mengingat Komisi X hanya mengawasai anggaran Kemendiknas tidak di kementrian dan lembaga lainnya. Melalui pendidikan yang bermutu, masyarakat diharapkan akan mengerti apa hal-hal yang telah menyebabkan ketertinggalannya dan mampu mencari jalan keluarnya.  Oleh sebab itu tujuan pendidikan bukan hanya menyediakan sarana dan prasarana agar masyarakat dapat belajar dan memperoleh pendidikan berkualitas, tetapi juga untuk mempersiapkan peserta didik masuk ke dunia kerja dan sekaligus membangun karakter dan budaya masyarakat. Pembangunan sarana prasarana dan pembangunan karakter harus saling mendukung. Jika pembangunan fisik saja yang berhasil dilakukan sepentara karakter seperti nasionalisme dan kejuangan, kemampuan menghadapi tantangan, kewirausahaan, tidak terbentuk, maka pendidikan gagal menghasilkan peserta didik yang siap berkarya dan menciptakan lapangan kerja. Tidak heran jika sekarang  pendidikan kita menghasilkan banyak sarjana, tapi mereka tidak siap bekerja dan kurang membumi. Dari 9,43 juta pengangguran, 1,1 juta diantaranya adalah sarjana. Yang lebih mengkhawatirkan, sikap yang terbangun pada generasi muda lebih pada perilaku konsumtif, gengsi,  serta ekspektasi yang melampaui realitas. Akibatnya perilaku yang tidak logis lah yang terbangun, seperti korupsi dan sikap oportunistik. Keterbukaan dan Akuntabilitas menjadi Kunci Perbaikan Masalah utama lain yang dihadapi dalam pembangunan pendidikan di Indonesia adalah rendahnya akuntabilitas publik – baik di pusat, daerah, maupun di tingkat sekolah. Padahal transparansi menjadi kunci keberhasilan apakah anggaran yang ada betul-betul digunakan secara efektif.  Korupsi di berbagai lini membuat anggaran pembangunan pendidikan tidak   sampai kepada sasaran. Banyak proyek didesain hanya sekedar untuk proyek dan dilaksanakan melalui cara business as usual.  Secara umum manajemen pelaksanaan dan monitoring evaluasi  lemah atau tidak tersedia.  Spirit  pembelaan terhadap rakyat kecil belum terbangun. Cara kerja pemerintah dan aparatur seperti tersebut di atas bukannya mendukung kesejahteraan, justru memperkuat ketidakberdayaan masyarakat. Reformasi dan inovasi kebijakan daerah untuk meningkatkan transparansi dan kualitas layanan publik dalam rangka mewujudkan keadilan sosial perlu didukung dengan kebijakan di tingkat pusat. Peran Legislatif dalam Mewujudkan Cita-cita Pendidikan Nasional Agar kesenjangan dalam tingkat kesejahteraan tidak merosot semakin dalam, kepemihakan anggota DPR RI  pada rakyat miskin menjadi sangat krusial. Anggota DPR diharapkan menjadi motor untuk mereformasi kebijakan yang salah dan membuat atau mempengaruhi kebijakan baru yang lebih berkeadilan. Selain itu anggota legislatif bisa mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat yang lebih bermakna, khususnya partisipasi dari kelompok sosial yang selama ini kurang didengar suaranya seperti perempuan, anak sekolah, pemuda, masyarakat marjinal, dan komunitas adat. Citra dan reputasi wakil rakyat di mata publik harus diperbaiki. Kebijakan dan pengawasan yang dilakukan harus  berbasis data dan bukti-bukti. Kerjasama yang baik dengan media baik sebagai alat untuk sosialisasi kebijakan maupun pengumpulan informasi dan perolehan umpan balik sangat mutlak diperlukan. Liputan pengalaman para guru yang bertugas di daerah-daerah pelosok pada program “Gerakan Indonesia Mengajar” baru-baru ini membuka mata banyak orang termasuk para pengambil kebijakan bahwa wajah pendidikan kita masih sangat senjang, dan tidak semua masalah itu disadari jika media tidak mengangkatnya. Ada beberapa tantangan yang dihadapi anggota legislatif untuk mampu menjalankan perannya dengan baik. Proses pembuatan kebijakan selama ini kurang  transparan dan lebih banyak bergantung pada  lobby politik pimpinan dan mereka yang berpengaruh di luar sidang dan rapat resmi. Hal ini mempersulit fungsi pengawasan oleh anggota legislatif. Tidak tersedia/minimnya  data dan informasi yang akurat mengenai masalah pendidikan di tingkat pusat maupun di daerah mempersulit fungsi pengawasan yang efektif. Selain itu tidak semua anggota memiliki kompetensi dan memiliki kemauan belajar dalam penyusunan legislasi maupun analisis anggaran, sementara  anggota hanya dibantu  dua orang tenaga ahli. Ke depan, jaringan di dalam komisi yang memiliki kepedulian yang sama perlu diperkuat. Hubungan dan  kerjasama dengan lembaga-lembaga akademis,  civil society, juga lembaga internasional yang memiliki kepedulian dan program-program pembangunan pendidikan pro rakyat juga harus dibangun. Kepustakaan Akatiga, Jurnal Analisis Sosial vol 14 No. 2,  Menelusuri Kriteria Kemiskinan: Perspektif Masyarakat Sipil, Bandung, September 2009. Balitbang Depdiknas, Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan, Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Jakarta, 2007 Devas, Nick, at. All, Urban Governance, Voice and Poverty in the Developing World, earthscan Publication, London, 2004. Widiowati, Didiet, Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia, Pusat Pengkajian Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, 2009.
[1] Kementrian Keuangan RI, Pencapaian Kinerja Makro Ekonomi 2010 dan Mitigasi Risiko Inflasi 2011. [2] Lihat makalah Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI DPR pada diskusi Inflasi dan Suku Bunga Dampaknya bagi Kesejahteraan Rakyat, FPG DPR RI, 27 januari 2011 [3] Saat ini BPS menggunakan angka [4] Lihat Balitbang Depdiknas, Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan, Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Jakarta, 2007

Hetifah Mendengar

Sampaikan aspirasi Anda

  1. Selamat malam bu,, Anak saya berprestasi. Juara 1 tingkat kabupaten belum pernah dapat pip. Ternyata dapat tahun sekarang dan pas d cek dapat dari 2023-2024. Apa itu pip aspirasi bisa di perpanjang? Karena anak saya dari klas 1 smpe klas 4 juara 1 di kelas. Ingin dapat pip reguler untuk anak berprestasi semoga dapat terus biar tambah semangat belajar nya Terima kasih

  2. Anak ku berprestasi. Juara 1 tingkat kabupaten belum pernah dapat pip. Ternyata dapat tahun sekarang dan pas d cek dapat dari 2023-2024. Apa itu pip aspirasi. Pengin dapat pip reguler untuk anak berprestasi

  3. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Mohon maaf sebelumnya Ibu, Saya Erwin Margatama dari Semoi Dua, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Saat ini saya berkuliah di Universitas Mulawarman semester 6, Saya ingin sekali meringankan beban orang tua saya, dengan berusaha mendapatkan beasiswa dari mana saja, saya sudah daftar di Kaltim tuntas akan tetapi tidak lolos sebab terhalang Akreditasi Prodi kami yang masih C, IPK saya 3.91, Seandainya Akreditasi Prodi saya bagus pasti dapat, Mohon bantuannya Bu, Terima kasih Ibu

Lihat semua aspirasi