Berita
Banyak Guru di Perbatasan yang Tak Dapat Tunjangan
JAKARTA, RIMANEWS – Tunjangan khusus bagi guru-guru yang bertugas di daerah perbatasan dan terpencil malah menimbulkan gejolak sosial. Pasalnya, karena tunjangan itu banyak tak sampai ke tangan yang berhak. Tahun lalu, tunjangan yang terserap alias terdistribusi dengan baik hanya sekitar 50 persen.
Hal tersebut mencuat dalam Diskusi Publik bertema Mencari Solusi Problematika Pendidikan dan Guru di Perbatasan yang digelar Fraksi Partai Golkar DPR, Jumat, (25/11). Diskusi menghadirkan anggota Komisi X Hetifah dan Dzulfadhli, keduanya berasal dari daerah pemilihan (dapil) Kaltim dan Kalbar yang beberapa wilayahnya berbatasan langsung dengan Malaysia. Selain mereka, juga ada beberapa guru dari daerah perbatasan yang hadir.
Agustinus, guru SMA 1 Badau, Kapuas Hulu, Kalbar mengatakan, permasalahan pendidikan di perbatasan tak lepas dari minimnya inftrastruktur maupun sarana dan prasarana kehidupan sosial. “Saya sebetulnya malu mengatakan, listrik kami berasal dari negara tetangga (Malaysia, Red.),” sesalnya.
Selain itu, di tiga kecamatan perbatasan di Kapuas Hulu, yakni Badau, Empanang, dan Puring Kencana, hanya ada satu sekolah menengah atas, yaitu di Badau. Hal ini membuat anak-anak perbatasan kesulitan melanjutkan pendidikan.
Mengenai tunjangan guru di perbatasan, dia menilai juga ada masalah. Dari sekitar 1.100 guru yang seharusnya dapat tunjangan tersebut, yang menikmatinya hanya separuhnya. Ketika ditanyakan ke Kementerian Pendidikan, kata dia, terkesan saling lempar tanggung jawab. Data yang tak valid dan Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) jadi alasan.
Ngoson Di’ong, pengawas TK/SD Long Apari, Kutai Barat, Kaltim mengatakan, mengurai persoalan pendidikan di perbatasan tak bisa singkat karena terlalu kompleks. Di Long Apari, kata dia, untuk mencairkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) saja, kepala sekolah perlu waktu sekitar 2 minggu untuk mengurusnya di kabupaten.
Dia membenarkan bahwa distribusi tunjangan bagi guru perbatasan yang tak lancar menimbulkan gejolak sosial. “Ada guru yang sudah lama mengabdi tapi tidak dapat, sementara ada guru baru yang dapat,” jelasnya.
Menanggapi realita itu, anggota Komisi X Zulfadhli mengatakan, selama ini pemerintah hanya seolah-olah membangun daerah perbatasan sebagai beranda negara. Tetapi nyatanya, program-program pembangunan itu banyak yang tidak efektif. Pemerintah merencanakan pembangunan tanpa memahami persoalan, sehingga anggaran pembangunan pendidikan di perbatasan sia-sia.
“Kami akan mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan untuk membangun SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan sekolah satu atap yang berasrama di perbatasan,” katanya. Hal ini untuk memudahkan akses siswa maupun guru ke sekolah.
Selain itu, menurut Zulfadhli, Fraksi Golkar akan mengusulkan resentralisasi guru ke pusat agar memudahkan kontrol, pendataan, dan kelancaran tunjangan. Selama ini, pemerintah mencairkan dana tunjangan berdasarkan database dari Dinas Pendidikan (Disdik) provinsi. Tapi, ternyata data tersebut bermasalah karena kurang valid.
Anggota Komisi X dari Dapil Kaltim, Hetifah menegaskan perlunya pemerintah memperbaiki desain program untuk perbatasan. “Ini tidak bisa ditunda lagi. Pemerintah harus mendesain ulang program dan melakukan validasi data,” katanya.
Keterlibatan kementerian lain seperti Kementerian PU juga harus ditingkatkan dalam pembangunan perbatasan. Seperti diketahui, untuk membangun satu ruang kelas di perbatasan bisa berkali-kali lipat dana yang diperlukan dibanding pembangunan di kota.[ach/JPNN]
Aspirasi saya adalah saya ingin mencapai tujuan, impian saya untuk membahagiakan orang tua saya
Aspirasi saya adalah saya ingin mencapai tujuan, impian saya
jika aktivitasi rekening pada bulan September,kapan dana pip cair?