Hetifah: “Saya Menyebutnya Strategi Eskalator”

Tak banyak aktivis LSM yang mau masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Mayoritas tetap berada di luar pemerintah. Menurut mereka, dengan mengambil posisi tidak menjadi partner pemerintah, mereka tetap objektif dalam mengadvokasi setiap kebijakan pemerintah yang mereka anggap salah. Lebih dari itu, LSM tidak ingin terkooptasi. Puluhan tahun lalu, di awal menjadi aktivitis LSM, Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP juga berpendapat seperti itu. Ia ingin objektif dan tidak ingin terkooptasi. Namun, ia pun tidak ingin menjadi LSM yang cuma sekadar teriak-teriak dan demo. Perempuan ini melakukan advokasi justru dengan penelitian yang kemudian menghasilkan data. Sehingga apa yang diadvokasikan benar-benar base on data. web225 Hetifah: Saya Menyebutnya Strategi Eskalator Dalam perjalanan hidupnya, ia justru membuat sejumlah rekan aktivitis LSM lain tercengang, karena memutuskan masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Artinya, Hetifah tiba-tiba masuk ke pemerintah. Diawali dengan membuat gagasan one stop service, ia menasistensi pejabat di Kementrian Dalam Negeri. Bahkan ia turut membuat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 24 Tahun 2006. Kondisi tersebut membuat tanda tanya besar. Why? Berikut ini lanjutan dari hasil interview anggota DPR RI Hetifah yang dikenal sudah puluhan tahun malang melintang di dunia LSM dan menjadi aktivis, dengan reporter majalah Mimbar Politik Alfons. Interview ini merupakan lanjutan dari interview sebelumnya. Bisa cerita aktivitas Ibu saat menjadi mahasiswa ITB? Tahun 80-an kebebasan berorganisasi sudah dikekang juga. Jadi kita hendak melakukan kolokium (semacam diskusi) itu dibubarkan. Jangankan mengkritisi langsung, mau mendiskusikan suatu fenomena saja tidak diizinkan. Waktu itu kami yang tergabung dalam aktivitis mahasiswa hendak mendiskusikan kolokium, kalau tidak salah judulnya negara, parstisipasi dan pembangunan. Kita undang para tokoh-tokoh. Nah, seperti itu saja, sudah dibubarkan oleh polisi. Padahal sebagai mahasiswa kita hanya ingin mengetahui lebih jauh pemikiran-pemikiran kita tentang suatu realitas. Pembangunan itu sudah sampai dimana. Barangkali karena yang kita undang itu tokoh-tokoh kritis, semacam Todung Mulya Lubis, jadi kolokium kami sudah dianggap sudah membahayakan. Intinya, pada tahun 80-an antara mahasiswa dan negara memang tidak harmonis. Kita kalau ingin melekukan sesuatu akhirnya lebih banyak melalui cara-cara ektra, ya antara lain bisa lewat tulisan. Makanya hasil riset itu penting. Makanya kalau kita sekadar demo pada saat kita mahasiswa, itu tidak ada efek apa-apa. Saya hampir yakin, itu tidak didengar. Hanya diperhatikan, selanjutnya ya dibungkam. Tetapi isi demo itu tidak diambil. Saya mulai menyadari bukti-bukti atau fakta. Misalnya kalau saya ingin memperjuangakan nasib buruh, kita harus mencari data sebenarnya realitas kehidupan buruh itu seperti apa susahnya, kemudian kita coba bandingkan bagaimana pendapatan buruh dari masa ke masa. Misalnya apakah daya beli buruh turun dan sebagainya. Dengan pendapatan yang sama buruh bisa membeli sekian kilo beras, sekian kilo telor, tetapi sekarang hanya bisa membeli sekian. Pokoknya kita bikin supaya ada daya tarik dan membuka pikiran. Yang lebih penting lagi kita juga membuka pikiran buruh dan aktivis buruh sendiri, bahwa hak-hak mereka sudah terlanggar. Jadi kita beri tahu mereka, ‘Ini lho realitas kalian seperti ini’. Sehingga mereka mau melakukan advokasi langsung untuk diri mereka, tetapi kita mem-back up-nya melalui data. Itulah kemudian saya membuat LSM yang pertama dan cukup terkenal, yakni AKATIGA Pusat Analisis Sosial. web123 Hetifah: Saya Menyebutnya Strategi Eskalator Bagaimana AKATIGA sekarang ini Bu? Alhamdulillah sampai saat ini AKATIGA masih eksis. Kita masih memproduksi banyak jurnal-jurnal soal kemiskinan, mulai dari perburuhan, pertanian, dan pertanahan. Sampai saat ini kami masih konsisten dengan masalah itu. Pada saat menjadi LSM dan meneliti. Ketika menemukan data-data menyedihkan mengenai realita di lapangan, bagaimana tanggapan masyarakat? Tanggapan pemerintah memang kurang menghargai. Harap maklum, posisi LSM waktu itu dengan pemerintah memang berlawanan. Hal itu seperti juga Mahasiswa yang dianggap bertentangan. Situasinya seperti itu. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berada di luar pemerintahan. Dengan begitu, kita benar-benar mengkritisi, kalau perlu demo. Salah satu pressure terhadap pemerintah adalah melalui bantuan internasional. Seringkali kita dibantu oleh network-network LSM internasional. Kita juga terbantu dengan melakukan pressure lewat dunia internasional. Contohnya seperti kisah buruh Nike, dimana sekarang akhirnya banyak yang diadvokasi oleh jaringan internasional, supaya lembaga internasional membuat peraturan melalui ILO (International Labour Organization-Organisasi Buruh Internasional-pen), supaya buruh-buruh di Indonesia terlindungi. Jadi konsepnya, kita desak ke pemerintah langsung tetapi seringkali kebijakan itu berasal dari pressure lembaga internasional. Oleh karena sering dibantu oleh lembaga-lembaga internasional, LSM dianggap sebagai kaki tangan lembaga internasional. Tapi sebetulnya saya juga cukup kritis terhadap lembaga internasional. Pernah ada satu tulisan saya, judulnya the Activist’s Dilema, yang pernah saya tulis di salah satu majalah Australia. Di situ saya tulis, ada polarisasi antara LSM dengan lembaga internasional, dimana kita harus kritis juga. Kalau tidak kritis, maka kita jadi tidak rasional. Jadi bukan sekadar mengkritisi pemerintah. Contoh mengkritisi lembaga internasional seperti misalnya mengkritisi kebijakan Bank Dunia terhadap Indonesia. Atau bagaimana lembaga-lembaga donor memperlakukan para aktivis, sehingga mereka yang tadinya para pemimpin di komunitas justru oleh mereka (sejumlah lembaga donor-pen) direkrut menjadi staff mereka. Nah, itu kan model kooptasi yang mungkin merugikan gerakan advokasi. Sekarang kan banyak lembaga internasional Bank Dunia, USAID, dan lain, dimana justru tokoh-tokoh aktivis di-hire sama mereka. Hal tersebut justru mengkooptasi leader. Ada yang aktif dan vokal, langsung ditarik atau diajak bergabung dengan lembaga internasional itu. Padahal menurut saya civil society yang kuat tetap perlu orang-orang yang tidak terkooptasi. web53 Hetifah: Saya Menyebutnya Strategi Eskalator Pertanyaannya kenapa sekarang Ibu tidak tetap berada di civil society? Kenapa kemudian masuk ke partai dan sekarang menjadi anggota DPR? Kalau sudah masuk ke dunia politik, kita dianggap sudah masuk ke dalam sebuah sistem yang sebelumnya kita kritisi. Orang pasti banyak mempertanyakan, ketika sudah ‘di dalam’ (berada dalam sistem-pen) masih kritis tidak? Saya yakin banyak orang mengamati aktivis-aktivis LSM yang kini masuk ke dalam sistem seperti saya. Tapi hal tersebut wajar saja. Boleh ceritakan sedikit ketika Ibu kuliah di Singapura dan Australia? Itu adalah bagian dari peningkatan kapasitas saya. Sebab, saya merasa kalau saya sebagai mahasiswa, saya yakinlah masih di-underestimate pemerintah, kecuali gerakan kita menjadi semacam gerakan yang masif. LSM juga banyak diremehkan, karena mereka cuma dianggap omong doang dan tidak punya solusi. Apalagi ada pula LSM yang datang ke pemerintah hanya sebagai pemeras. Konotasi LSM kebanyakan memang begitu. Ada satu masalah yang terjadi, kemudian mereka datang pada pemerintah untuk memeras. Saya melalui beberapa lembaga yang saya dirikan, memberikan satu contoh model LSM yang baru. Saya kombinasikan yang saya sebut sebagai activism dengan competency. Ada lembaga yang memiliki kompetensi disebut konsultan. Mereka biasanya orang-orang pintar dan punya solusi. Jika pemerintah ada masalah, biasanya hire konsultan. Misalnya ada masalah pendidikan. Bikin konsep dan solusinya, bayarlah konsultan. Namun kebanyakan konsultan, mereka memang terdiri dari orang-orang pintar dan menghasilkan solusi, tetapi tidak memiliki idealisme. Tidak semua, tetapi banyak di antara mereka berorientasinya bisnis. Mendapat keuntungan. Jadi ketika membuat proyek, mereka tidak masalah dibayar semurah mungkin. Akademisi lain lagi. Mereka ini saat melakukan penelitian pun sudah kehilangan keberpihakannya. Seakan mereka ini (para peneliti yang terdiri dari akademisi-pen) sudah dibeli. Pokoknya hasil penelitiannya itu seringkali yang bagus-bagus. Mereka inilah yang tadi saya sebut sudah terkooptasi. Mereka ini tidak memiliki pemahaman politik sama sekali, seolah-olah akademisi ini netral, namun justru menurut saya sebaiknya bukan netral, malah memperkuat kekuasaan melalui hasil-hasil penelitian yang sifatnya merupakan pembenaran dari kebijakan yang dibuat oleh penguasa. Kalau pemerintah ingin membenarkan kebijakan A, ya harus ada legitimasi. Nah, salah satunya ya penelitian yang tidak netral itulah yang menjadi legitimasi dari penguasa. Itu yang saya kritik betul lewat AKATIGA. Soal kenapa saya studi di Singapura, sebenarnya ada persamaan situasi politik. Menurut saya tahun 90-an, Singapura sama seperti Indonesia, yakni otoriter juga negara. Ada kesamaan karakter, tetapi negara ini maju. Otoriter, tetapi ada kemajuan yang lebih dari Indonesia. Dari kehidupan berorganisasi warga Singapura ditekan, namun dari kehidupan ekonomi sangat maju. Terus terang saya tidak terbayang waktu itu Indonesia akan reform tahun 90-an. Dengan belajar di Singapura, rasa ke-Asia Tenggara-an masih ada lah. Saat itu ada mahasiswa dari sekitar 20 negara. Menariklah. Termasuk teman-teman dari Birma, Myanmar, yang sekarang aktivis-aktivisnya banyak yang dipenjara. Ada pula dari Vietnam, Thailand. Studi di Singapura mengajarkan saya mengetahui dasar kebijakan yang tepat bagi masyarakat dan cara membuatnya seperti apa. Saya belajar jika di LSM jangan sekadar memprotes keadaan, tetapi kita tahu solusi yang harus dilakukan seperti apa. web312 Hetifah: Saya Menyebutnya Strategi Eskalator Setelah pulang apa yang Ibu lakukan terhadap pemerintah? Karena kita di luar sistem, jadi apa yang kita tawarkan tetap tidak dianggap. Kita sudah tawarkan dengan menerbitkan jurnal-jurnal atau buku-buku, ternyata tidak dibaca. Kita kirimkan ke goverment, tidak dibaca. Apa yang kita lakukan akhirnya kerjasama dengan media, yakni dengan melakukan advokasi. Misalnya studi soal korupsi. Namun pada tahun 90-an, istilah korupsi tidak segencar sekarang. Masih sensitif. Oleh karena itu, pada saat meneliti usaha kecil, kita menggunakan istilah pungutan. Saya menemukan dalam hasil penelitian itu, bahwa 20% dari awal membangun usaha atau bisnis itu ternyata untuk pungutan-pungutan. Mislnya minta izin, pengusaha harus pakai ‘pelicin’. Membuka lapak, ngasih preman. Belum lagi ketika kita mau ekspor, kita ngasih ke preman di pelabuhan. Jadi mulai hulu ke hilir, itu penuh dengan pungutan-pungutan. Itu sebenarnya korupsi juga kan? Pungutan tersebut dilakukan, baik oleh aparat maupun preman. Kemudian kita advokasikan dengan cara membuat artikel. Saya tulis baik di media lokal maupun internasional. Lalu saya membuat forum, sehingga terbentuk masyarakat yang anti punggutan. Tapi ujungnya, kita tetap minta bantuan dari lembaga internasional untuk mem-pressure, supaya terjadi perubahan Deregulasi beberapa hal. Di beberapa daerah membentuk kebijakan satu atap. Tentang one stop service bisa ceritakan Bu? Hampir sepuluh tahun saya mendalami mengenai one stop service ini. Dari mulai riset sampai akhirnya saya menawarkan one stop service. Tentu saya tidak bisa sekadar menawarkan. Oleh karena, saya membentuk konsultan-konsultan untuk mengasistensi one stop service ini, dimana konsultan ini campur dengan LSM. Istilah saya activist plus profesionalism. Aktivis tetapi profesional. Nah, itu saya membuat MOI dengan Kota Kabupaten. Saya membuat MOI dengan kota Cimahi, misalnya. Saya tanya,’Bapak mau tidak membuat one stop service?’. Kalau iya, dalam waktu 9 bulan saya dampingi dari A sampai Z. Saya juga mendampingi pada saat membuat Perda-nya. Alhamdulillah kota Cimahi ini kemudian mendapatkan penghargaan dari Presiden sebagai kota yang reform dalam hal perizinan. Saya berani mengklaim, bahwa yang mempelopori one stop service ini saya dan teman-teman dari lembaga B-Trust. Sekarang sebelum saya masuk ke DPR, saya juga mendorong istilah procurement reform. Pengadaan barang dan jasa. Antara lain di Jawa Barat yang merupakan karya kami juga menerapkan semacam Electronic Procurement. Ini diberlakukan supaya jangan sampai pengadaan barang dan jasa ini banyak korupsinya. Sepertinya one stop service dan procurement reform bagian dari reformasi birokrasi? Betul. Memang, salah satu wujud mereformasi birokrasi ya kita harus melakukan perubahan kebijakan. Saya sudah melakukannya di kota Cimahi dengan one stop service itu. Waktu saya memulai memang baru perizinan, tetapi nantinya bisa juga kan pembuatan KTP atau mengurus sertifikat tanah, dan pelayanan publik lain. Khusus untuk one stop service, setelah ada contoh di beberapa kota, kami bekerjasama dengan Depdagri (Departemen Dalam Negeri-pen). Saya ikut menyusun Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang pedoman penyelenggaraan pelayanan satu pintu. Sebenarnya Permendagri ini merupakan aplikasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah memberikan peluang yang besar kepada daerah untuk berinovasi mengatur dan membuat berbagai kebijakan pembangunan serta peningkatan kualitas dan mutu pelayanan umum kepada masyarakat. Jadi startegi saya supaya kebijakan bisa nasional, ya dari lokal terlebih dahulu. Seperti contoh tadi, saya melakukan di kota-kota, setelah terbukti, baru pemerintah pusat percaya, bahwa solusi yang saya tawarkan dengan teman-teman di B-Trust sangat efektif sebagai bagian dari reformasi birokrasi. Saya beri bukti dengan one stop service akan meningkatkan PAD, lalu pelaku bisnis akan merasa terbantu dengan layanan dan lebih happy. Dari sisi pemerintah daerah juga terbantu, karena bisa terpilih lagi, karena sudah membuat kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Dengan begitu, pemerintah yang baru akan menuangkan kebijakan one stop service sebagai visi dan misi mereka, lho. Gubernur Jawa Barat, misalnya. Sebelum Gubernur sekarang, belum terpikirkan mengenai one stop service. Tetapi belakangan, kebijakan satu atap tersebut masuk dalam visi dan misi. Sebab, sekali lagi dengan menjalankan kebijakan ini seperti ada insentif, yakni Kepala Pemerintahan Daerah menjadi lebih populer dan bisa terpilih lagi. Saya menyebutkan strategi ini seperi eskalator. Maksudnya, mula-mula kami menjalankan startegi ini di kota-kota, kemudian setelah ada hasil, kita naikkan menjadi sebuah kebijakan pusat. Kebijakan di Depdagri itu tadi, misalnya. Dari pusat, kita turunkan lagi ke kota-kota atau Kabupaten-Kabupaten yang belum menerapkan, dimana kita akan mendampingi sampai berjalan dengan baik, yakni dalam bentuk asistensi. web45 Hetifah: Saya Menyebutnya Strategi Eskalator Begitu turun Peraturan Menteri Dalam Negeri soal kewajiban menjalankan one stop service semua daerah melakukan? Sebenarnya semua wajib melakukan, tetapi tidak semua daerah bisa, ya kan? Bahkan ada daerah yang pura-pura menjalankan one stop service, tetapi sebenarnya di dalam-nya tidak benar-benar melakukan reformasi birokrasi. Cuma punya kantornya saja, prosedurnya tetap saja sama seperti sebelumnya. Ini memang masalah asistensi. Sebab, tidak banyak lembaga yang mau mendampingi pemerintah. Teman-teman LSM yang tidak mau. Perlu kesabaran yang luar biasa jika kita mendampigi pemerintah. Saya pun begitu. Jika sebelumnya sering protes di luar, begitu mendampingi mereka, wah awalnya makan hati. Perlu merubah mind set kita. Saya menjadi tidak 100% antipati pada pemerintah, karena ternyata ada kok orang-orang yang mau berubah. Kalau kita mau merubah, ya resikonya kita memang harus mau mendampingi mereka. (bersambung)

Hetifah Mendengar

Sampaikan aspirasi Anda

  1. Selamat malam bu,, Anak saya berprestasi. Juara 1 tingkat kabupaten belum pernah dapat pip. Ternyata dapat tahun sekarang dan pas d cek dapat dari 2023-2024. Apa itu pip aspirasi bisa di perpanjang? Karena anak saya dari klas 1 smpe klas 4 juara 1 di kelas. Ingin dapat pip reguler untuk anak berprestasi semoga dapat terus biar tambah semangat belajar nya Terima kasih

  2. Anak ku berprestasi. Juara 1 tingkat kabupaten belum pernah dapat pip. Ternyata dapat tahun sekarang dan pas d cek dapat dari 2023-2024. Apa itu pip aspirasi. Pengin dapat pip reguler untuk anak berprestasi

  3. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Mohon maaf sebelumnya Ibu, Saya Erwin Margatama dari Semoi Dua, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Saat ini saya berkuliah di Universitas Mulawarman semester 6, Saya ingin sekali meringankan beban orang tua saya, dengan berusaha mendapatkan beasiswa dari mana saja, saya sudah daftar di Kaltim tuntas akan tetapi tidak lolos sebab terhalang Akreditasi Prodi kami yang masih C, IPK saya 3.91, Seandainya Akreditasi Prodi saya bagus pasti dapat, Mohon bantuannya Bu, Terima kasih Ibu

Lihat semua aspirasi